Selasa, 15 Oktober 2013

IZINKAN AKU MEMANGGIL IBU (Part 2)

A story by Laeli Ifani
Dua hari kemudian Ibuku dan kakak-kakaku membulatkan tekad untuk pergi ke Australia untuk masa depan kakak-kakakku. Aku ingin disaat terakhir ini aku merasakan hangatnya pelukan seorang Ibu. Aku ingin di perpisahan sementara ini ingin dibelai rambut oleh Ibu seperti Ibu melakukannya kepada kedua kakakku. Namun, aku tetap tersenyum meskipun Ibu tidak mengeluarkan sepatah kata perpisahan buatku, masih ada kak Intan dan kak Rendy mengucapkannya mereka memang malaikat penolongku, mereka memeluk erat tubuhku sambil menangis dan mereka berjanji akan kembali lagi ke rumah ini. Akupun tidak bisa menahan tangisku, aku menangis sambil menatap wajah cantik Ibuku namun dia begitu cuek denganku.
Lima tahun sudah aku tidak berjumpa dengan Ibu dan kakak-kakakku dan mereka tidak bisa dihubungi sama sekali dan entahlah kapan mereka balik ke rumah ini. Aku kangen mereka. Aku kangen wajah Ibu yang cantik dan selalu cemberut ketika melihatku. Aku kangen bercanda tawa bersama kak Intan dan kak Rendy. Apalagi suasasana rumah ini semakin terasa sepi semenjak ditinggalkan mereka. Tetapi aku tetap semangat, tegar dan bersyukur karena Tuhan masih sayang kepadaku. Aku masih kakek yang selalu sayang dan perhatian kepadaku. Dialah yang selalu memberikan semangat dan makna kehidupan sesungguhnya. 
Saat ini aku sudah menempuh kuliah selama dua tahun. Di usiaku yang 23 tahun ini aku mulai bekerja sambil kuliah untuk mencukupi kebutuhanku dan kakek karena biaya untuk mencukupi kebutuhan kita semakin hari semakin menipis. Dengan keadaanku yang tidak memungkinkan ini aku berusaha untuk lebih giat bekerja dan harus merelakan kuliahku kandas ditengah jalan. Yang paling menyedihakan lagi ternyata kakekku menderita kanker paru-paru dan kami tidak mempunyai uang untuk memenuhi biaya berobat kakekku. Aku sudah berencana menjual rumah mewah ini untuk biaya pengobatan kakek, tetapi ia menolaknya. 
Di hari ulang tahunku yang ke-24 tahun ini merupakan hari yang menyedihkan. Aku harus kehilangan seorang kakek yang telah mengasuhku, yang telah membelaku di hadapan Ibu. Kini dia telah pergi meninggalkanku untuk berjumpa dengan Sang Pencipta. Namun, aku tetap tegar menghadapi semua ini. Aku akan ingat semua pesan kakek.
Dirumah besar ini aku sendiri tak ada yang menemani, semua orang yang kusayang telah pergi meninggalkanku. Sampai detik ini juga Ibu dan kedua kakakku belum ada kabar. Ditengah lamunanku, aku terkaget dengan suara yang memanggil-manggil namaku. Ternyata itu suara kak Intan dan kak Rendy. Setelah kubuka pintu, aku tersenyum melihat wajah Ibuku yang semakin cantik sambil ia memandangku dengan wajah cemberutnya dan aku melihat kedua kakakku yang sibuk membawa oleh-oleh buat aku. Betapa senangnya hatiku. Namun kesenangan itu berakhir sekejap, ketika ibuku menanyakan kakek.
“Ehh dimana kakekmu?” tanya Ibu.
Aku hanya terdiam dan mataku mulai berkaca-kaca.
“Dek dimana kakek?”, tanya kak Intan dan kak Rendy penasaran
Aku hanya bisa menangis mendengar pertanyaan mereka. Ibuku kemudian memarahiku karena tidak menjawab pertanyaannya dan kedua kakakku berusaha untuk membelaku.
“Kakek sudah meninggal dunia” jawabku dengan terbata-bata dan penuh deraian air mata.
Ibuku dan kedua kakakku tidak percaya ini terjadi. Kamipun menangis, kelihatannya Ibuku sangat menyesal telah meninggalkan kakekku dan tanpa pernah ada kabar.
Kebencian ibuku semakin besar semenjak kakekku meninggal. Ia berpikir aku tidak bisa merawat kakekku sendiri yang telah membelaku di hadapannya. Aku terima semua perlakuan buruk ibuku, yang penting Ibuku senang. Mungkin melalui kekerasan dan cacian yang diberikan kepadaku itu merupakan bentuk kasih sayangnya.

Suatu malam ibuku mengalami kecelakaan. Ia kehilangan kedua penglihatannya dan kekurangan darah. Ibuku langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Aku kasian melihat ibuku seperti itu. Aku sanggup mendonorkan mendonorkan darah dan kedua mataku untuk menyelamatkan sosok yang sangat saya cintai. Aku rela tidak bisa melihat dunia ini lagi yang terpenting Ibuku selamat melawan maut. Meskipun aku tidak bisa melihat wajah cantik dan wajah cemberut Ibuku dan wajah manis kedua kakakku tetapi aku masih bisa merasakan hangatnya pelukan dan kasih sayang Ibu dan kedua kakakku. Setelah ibu tersadar dari komanya dan mengetahui bahwa aku yang telah mendonorkan darah dan dua mata untuknya, dia menyesal telah memperlakukan aku yang tidak seharusnya seorang Ibu lakukan kepada anak kandungnya sendiri. Aku memaafkan semua kesalahan Ibu dan aku mengerti Ibu seperti karena situasi. Akhirnya aku bisa merasakan hangatnya pelukan seorang Ibu dan aku boleh memanggil wanita cantik itu dengan sebutan “Ibu”. Inilah namanya kasih sayang seorang Ibu tak pernah lekang oleh waktu. 

Jumat, 11 Oktober 2013

Izinkan Aku Memanggil Ibu Part 1

A story by Laeli Ifani


Andaikan saja aku terlahir didunia ini dalam keadaan sempurna seperti teman-teman sabayaku meskipun di dunia ini takkan ada yang sempurna. Yang mempunyai segalanya. Memiliki orang tua yang begitu sayang kepada anak-anaknya. Tidak seperti aku yang terlahir tanpa sosok seorang ayah, dan ibuku begitu membenci aku karena aku ini dikatakan anak haram, anak dari hasil perkosaan lelaki yang tak bertanggung jawab yakni ayahku. Sampai detik ini aku belum tahu siapa sosok ayahku yang sangat dibenci ibuku.
Sebut saja aku Anisa. Aku gadis pincang. Aku mempunyai dua saudara tiri yang sangat sayang kepadaku, melebihi ibuku sendiri. Sebut saja mereka Kak Intan dan Kak Rendy. Kak Intan merupakan sosok yang sangat cantik, penyayang, disiplin, dan sangat perhatian kepadaku, aku anggap dia kakak kandungku sendiri. Sedangkan kak Rendy merupakan sosok lelaki yang menjadi pujaan setiap wanita, tak kalah care dengan kak Intan, selalu menghibur aku di kala aku sedih dan senang. Dua orang itu membuat aku bisa bertahan hidup sampai sekarang. Aku juga tinggal bersama kakekku yang sangat cinta terhadap cucu-cucunya.
Dibalik anggota keluargaku itu hanya ibu kandungku sendiri yang sangat membenciku. Aku tahu alasan mengapa dia perlakukan aku seperti ini dan aku mengerti hal itu. Sejak melahirkan kedua kakak tiriku merupakan momen bahagia Ibuku dan suaminya berubah menjadi kesedihan yang mendalam. Pada suatu malam Ibuku dan suaminya dihadang oleh gerombolan perampok. Suaminya berusaha menyelamatkan Ibuku yang diculik perampok itu dan nyawa suami ibuku melayang ditempat. Suara peluru yang menembak dada seseorang yang ibuku sangat cintai.
Beberapa bulan setelah suaminya meninggal dunia, Ibuku baru menyadari bahwa ia sedang mengandungku hasil dari perbuatan lelaki yang tak bertanggung jawab. Betapa teririsnya hati seorang wanita yang mengalami hal seperti itu. Mengandung tanpa seorang lelaki yang mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Hatinya lebur tak bisa diobati dengan apapun. Ibuku sudah berniat menggugurkanku, saat aku masih dalam rahimnya. Namun, kakekku melarangnya karena seorang bayi tidak mempunyai dosa apa-apa dan aku merupakan darah daging ibuku sendiri.
Penantiankupun berakhir, aku terlahir dari seorang Ibu yang cantik jelita. Aku bersyukur Tuhan memberikanku sosok Ibu yang sayang kepadaku meskipun rasa kasih sayangnya hanya sesaat. Seiring berjalannya waktu akupun tumbuh dan berkembang. Namun, aku terlahir di dunia dalam keadaan pincang. Ibuku semakin hari semakin keras memperlakukanku. Dia menyesal mengurungkan niat untuk melakukan aborsi selama aku masih dalam kandungan. Disetiap dia melihatku dia merasa sakit hati, dia benci, karena dia teringat dengan kejadian yang merenggut nyawa suaminya dan itu dilakukan oleh perampok yakni ayahku sendiri. Salah satu cara melampiaskan semua itu adalah dengan memukulku, memarahiku, mencaci maki. Tapi aku ikhlas menerima semua ini, karena aku ingin Ibu gak sakit hati lagi yaitu dengan melampiaskan semuanya kepadaku. Aku ingin Ibu bahagia, mungkin salah satu cara aku bisa berbakti kepadamu dengan menyerahkan semua jiwa ragaku untuk kau caci maki bu, aku ingin bilang kata “Ibu” tapi apa daya engkau tidak mengizinkan aku memanggil engkau “Ibu”.
Sekarang umurku menginjak 15 tahun, kak Intan sekarang duduk dibangku kelas tiga SMA sedangkan kak Rendy duduk dibangku kelas 2 SMA. Mereka memang satu sekolah dan aku di SMP samping sekolah kakak tercintaku. Kami setiap hari berangkat ke sekolah samaan ditemani Pak Udin yang setia menemani hari-hari kami kemanapun kami pergi. Di sekolah aku sudah terbiasa mendengar ejekan teman-temanku bahwa aku gadis pincang yang gak pantas sekolah disana. Tapi aku gak pedulia omongan mereka. Hanya satu prinsip yang aku pegang “kita kann sama-sama makan nasi, sama-sama mau cari ilmu, yaa kita semua sama!!!” dan aku bersyukur masih punya sahabat yang setia menemaniku sejak TK sebut saja Nayla, Ita dan Imron. Kalau aku ada masalah mereka selalu ada buat aku, mendengar curhatku tentang keluarga, sharing dan masih banyak lagi hal-hal kita lakukan bersama.
Suasana sekolah dan rumah sangat berbeda. Di sekolah bagaikan syurga ditemani dengan sahabat-sahabatku tercinta sedangkan di rumahku bagaikan neraka yang selalu disiksa oleh Ibu, tapi aku tetap tersenyum dibalik semua ini karena Ibuku merasa puas, menghilangkan rasa sakit hati yang berlarut-larut ia pendam. Setiap jam, setiap menit, setiap detik aku menjadi cacian Ibuku. Ia mengatakan aku anak haramlah, gak tau dirilah bahkan berkali-kali aku di usir dari rumah tapi kakek dan kedua kakakku melarangku untuk pergi. Aku tahu Ibuku sebenarnya sangat sayang kepadaku, aku akan tetap dirumah ini karena ingin disamping Ibu dan aku yakin ini semua akan indah pada waktunya, saat Ibu mengakui aku sebagai anaknya. Itu merupakan mimpi yang dari dulu sangat kuimpikan.
Dua tahun kemudian akupun lulus SMP dan aku berkeinginan untuk melanjutkan SMA dimana tempat kakak-kakakku pernah sekolah disana. Ibuku berkeberatan harus membiayai aku untuk lanjut sekolah namun kakekpun menolaknya, bahkan kakekku sanggup untuk mengambil alih semua biaya sekolahku. Ibukupun senang mendengar itu dan saat itu juga aku mendengar percakapan Ibu dan kakek..
“Pak, aku ingin melanjutkan kuliah Intan dan Rendy ke Australia” pinta Ibuku ke kakek.
“Trus bagaimana dengan Anisa apakah kamu tega meninggalkannya???” jawab kakek dengan nada menolak permintaan Ibu.
“Biarin sajalah dia disini, lumayan bisa jadi pembantu rumah tangga kann???’ jawab Ibu
Kakekkupun terdiam tidak tahu harus menjawab perkataan Ibuku.
Akupun langsung masuk kamar meratapi mengapa nasibku seperti ini, Ibu kandungku sendiri kejam kepadaku. Aku iri dengan teman-temanku yang mempunyai orang tua yang selalu sayang sama mereka. Apalagi dimasa-masa seperti diusiaku sekarang ini sangat membutuhkan belaian kasih kedua orang tua.
Pernah aku bertanya ke kakekku, “Mengapa Tuhan menciptakan aku di dunia dengan serba kekurangan??? Aku terlahir cacat dan Ibuku sendiri tidak sudi mengakui aku sebagai anaknya. Mana keadilan Tuhan itu???”.
Kakekku hanya bisa menangis dan berkata” di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna cu, kita harus bersyukur telah dikasih kesempatan hidup di dunia fana ini. Tuhan menciptakan manusia tidak ada yang sempurna, masing-masing mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan serta kehidupan itu sudah diatur oleh Tuhan. Masih banyak orang diluar sana tidak mempunyai keluarga satupun, mereka miskin dan serba kekurangan apapun. Beda dengan Anisa masih mempunya kakek, kakak-kakak yang sayang sama Anisa dan Ibu yang Anisa sangat cintai meskipun sikap Ibumu kejam. Tapi yakinlah cu, semua akan indah pada waktunya, asal kita jalani kehidupan ini dengan penuh kesabaran. Suatu saat nanti Ibumu akan sadar betapa dia mencintai Anisa”
“Oke dah kek, aku berusaha menjadi wanita yang tegar dan aku ikhlasin Ibuku pergi ke Australia siapa tahu dia akan berubah.” Jawabku dengan senyuman manis.
Kakekkupun tersenyum melihat aku setegar ini kemudian senyuman itu berubah menjadi raut wajah yang kebingungan bagaimana bisa aku mengetahui ibuku akan pergi. 
Bersambung . . . .