A story by Laeli Ifani
Dua hari kemudian Ibuku dan kakak-kakaku membulatkan tekad untuk pergi ke Australia untuk masa depan kakak-kakakku. Aku ingin disaat terakhir ini aku merasakan hangatnya pelukan seorang Ibu. Aku ingin di perpisahan sementara ini ingin dibelai rambut oleh Ibu seperti Ibu melakukannya kepada kedua kakakku. Namun, aku tetap tersenyum meskipun Ibu tidak mengeluarkan sepatah kata perpisahan buatku, masih ada kak Intan dan kak Rendy mengucapkannya mereka memang malaikat penolongku, mereka memeluk erat tubuhku sambil menangis dan mereka berjanji akan kembali lagi ke rumah ini. Akupun tidak bisa menahan tangisku, aku menangis sambil menatap wajah cantik Ibuku namun dia begitu cuek denganku.
Dua hari kemudian Ibuku dan kakak-kakaku membulatkan tekad untuk pergi ke Australia untuk masa depan kakak-kakakku. Aku ingin disaat terakhir ini aku merasakan hangatnya pelukan seorang Ibu. Aku ingin di perpisahan sementara ini ingin dibelai rambut oleh Ibu seperti Ibu melakukannya kepada kedua kakakku. Namun, aku tetap tersenyum meskipun Ibu tidak mengeluarkan sepatah kata perpisahan buatku, masih ada kak Intan dan kak Rendy mengucapkannya mereka memang malaikat penolongku, mereka memeluk erat tubuhku sambil menangis dan mereka berjanji akan kembali lagi ke rumah ini. Akupun tidak bisa menahan tangisku, aku menangis sambil menatap wajah cantik Ibuku namun dia begitu cuek denganku.
Lima
tahun sudah aku tidak berjumpa dengan Ibu dan kakak-kakakku dan mereka tidak
bisa dihubungi sama sekali dan entahlah kapan mereka balik ke rumah ini. Aku
kangen mereka. Aku kangen wajah Ibu yang cantik dan selalu cemberut ketika
melihatku. Aku kangen bercanda tawa bersama kak Intan dan kak Rendy. Apalagi
suasasana rumah ini semakin terasa sepi semenjak ditinggalkan mereka. Tetapi
aku tetap semangat, tegar dan bersyukur karena Tuhan masih sayang kepadaku. Aku
masih kakek yang selalu sayang dan perhatian kepadaku. Dialah yang selalu
memberikan semangat dan makna kehidupan sesungguhnya.
Saat
ini aku sudah menempuh kuliah selama dua tahun. Di usiaku yang 23 tahun ini aku
mulai bekerja sambil kuliah untuk mencukupi kebutuhanku dan kakek karena biaya
untuk mencukupi kebutuhan kita semakin hari semakin menipis. Dengan keadaanku
yang tidak memungkinkan ini aku berusaha untuk lebih giat bekerja dan harus
merelakan kuliahku kandas ditengah jalan. Yang paling menyedihakan lagi
ternyata kakekku menderita kanker paru-paru dan kami tidak mempunyai uang untuk
memenuhi biaya berobat kakekku. Aku sudah berencana menjual rumah mewah ini
untuk biaya pengobatan kakek, tetapi ia menolaknya.
Di
hari ulang tahunku yang ke-24 tahun ini merupakan hari yang menyedihkan. Aku
harus kehilangan seorang kakek yang telah mengasuhku, yang telah membelaku di
hadapan Ibu. Kini dia telah pergi meninggalkanku untuk berjumpa dengan Sang
Pencipta. Namun, aku tetap tegar menghadapi semua ini. Aku akan ingat semua
pesan kakek.
Dirumah
besar ini aku sendiri tak ada yang menemani, semua orang yang kusayang telah
pergi meninggalkanku. Sampai detik ini juga Ibu dan kedua kakakku belum ada
kabar. Ditengah lamunanku, aku terkaget dengan suara yang memanggil-manggil
namaku. Ternyata itu suara kak Intan dan kak Rendy. Setelah kubuka pintu, aku
tersenyum melihat wajah Ibuku yang semakin cantik sambil ia memandangku dengan
wajah cemberutnya dan aku melihat kedua kakakku yang sibuk membawa oleh-oleh
buat aku. Betapa senangnya hatiku. Namun kesenangan itu berakhir sekejap,
ketika ibuku menanyakan kakek.
“Ehh
dimana kakekmu?” tanya Ibu.
Aku
hanya terdiam dan mataku mulai berkaca-kaca.
“Dek
dimana kakek?”, tanya kak Intan dan kak Rendy penasaran
Aku
hanya bisa menangis mendengar pertanyaan mereka. Ibuku kemudian memarahiku
karena tidak menjawab pertanyaannya dan kedua kakakku berusaha untuk membelaku.
“Kakek
sudah meninggal dunia” jawabku dengan terbata-bata dan penuh deraian air mata.
Ibuku
dan kedua kakakku tidak percaya ini terjadi. Kamipun menangis, kelihatannya
Ibuku sangat menyesal telah meninggalkan kakekku dan tanpa pernah ada kabar.
Kebencian
ibuku semakin besar semenjak kakekku meninggal. Ia berpikir aku tidak bisa merawat
kakekku sendiri yang telah membelaku di hadapannya. Aku terima semua perlakuan
buruk ibuku, yang penting Ibuku senang. Mungkin melalui kekerasan dan cacian
yang diberikan kepadaku itu merupakan bentuk kasih sayangnya.
Suatu
malam ibuku mengalami kecelakaan. Ia kehilangan kedua penglihatannya dan
kekurangan darah. Ibuku langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Aku kasian
melihat ibuku seperti itu. Aku sanggup mendonorkan mendonorkan darah dan kedua
mataku untuk menyelamatkan sosok yang sangat saya cintai. Aku rela tidak bisa
melihat dunia ini lagi yang terpenting Ibuku selamat melawan maut. Meskipun aku
tidak bisa melihat wajah cantik dan wajah cemberut Ibuku dan wajah manis kedua
kakakku tetapi aku masih bisa merasakan hangatnya pelukan dan kasih sayang Ibu
dan kedua kakakku. Setelah ibu tersadar dari komanya dan mengetahui bahwa aku
yang telah mendonorkan darah dan dua mata untuknya, dia menyesal telah
memperlakukan aku yang tidak seharusnya seorang Ibu lakukan kepada anak
kandungnya sendiri. Aku memaafkan semua kesalahan Ibu dan aku mengerti Ibu
seperti karena situasi. Akhirnya aku bisa merasakan hangatnya pelukan seorang
Ibu dan aku boleh memanggil wanita cantik itu dengan sebutan “Ibu”. Inilah
namanya kasih sayang seorang Ibu tak pernah lekang oleh waktu.